Manusia boleh merencanakan segala hal yang dia inginkan,
tetapi apa daya jikalau semesta memiliki rencananya juga. Manusia dengan
semesta, seperti nol berbanding sepuluh sudah seperti ketentuan yang
tidak dapat diubah lagi, manusia memang ditakdirkan untuk siap pada
segala kemungkinan dalam hidupnya. Seperti perpisahan, mau ataupun tidak
mau.
Seharusnya setiap hal yang indah,
akan berakhir indah, bukan? Tetapi, semesta mungkin punya rencana lain.
Dan aku harus siap menerimanya.
Ketika itu hanya kamu, maka tidak ada yang lain selain kamu.
Suatu hari aku pernah memimpikan sebuah kisah romantis seperti dalam novel-novel romance kesukaanku. Dimana laki-laki dan perempuan tidak sengaja dipertemukan, saling jatuh cinta dan akhirnya hidup bahagia.
Tapi hakikatnya,hidup adalah hidup. Yang sesempurna itu hanya ada dalam cerita. Seperti aku yang bertemu dengannya (dulu), lalu jatuh cinta, kemudian memilih hidup bukan sama-sama.
Hai
cerita lama, apa kabarmu? Aku berharap kau baik-baik saja dengan cerita
baru. Jangan sepertiku yang masih saja terpaku padamu, juga pada
kenangan-kenangan yang masih susah pergi dari ingatanku.
Bercerita
kembali tentangmu, bukan untuk membuka luka lama dan membuat luka baru,
tetapi lebih kepada membuka buku harian lama yang sebelumnya sudah
aku kunci rapat-rapat. Disitu tertulis rapi segala hal tentangmu,
tentang kita yang tidak pernah ingin aku lewatkan satu lembarnya. Karena
kamu adalah tokoh penting didalamnya, dan kisah kita adalah alur yang
aku ciptakan untuk memiliki akhir yang bahagia.
Tetapi semuanya
hanya tinggal kenangan. Karena cerita hanya cerita, aku mungkin bisa
menuliskan akhir yang bahagia, tapi ada yang lebih berhak mengatakan
tidak. Semesta.
Maafkan aku yang masih mengartikan rindu
sebagai kamu; Senyumanmu yang hangat serta tawa renyah ketika melihatku
yang masih malu-malu.
Karena mencintaimu adalah hal
pertama yang muncul dibenakku, maka perpisahan adalah hal terakhir, dan
melupakanmu menjadi hal yang tidak pernah aku inginkan.
Entah mengapa, dari sekian banyak hal yang aku rindukan, saat-saat kamu tersenyum dan tertawa adalah bagian ter-paling-nya.
Aku
sudah pernah mengatakannya belum? Bahwa senyum dan tawamu adalah kata
lain dari jatuh cinta padamu. Senyummu yang sehangat matahari,
seringkali menularkan padaku yang notabenenya pendiam. Tawamu renyahmu
yang seringkali menertawaiku karena masih malu-malu kala duduk berdua
denganmu.
Dahulu, aku bisa dengan mudahnya mendapatkan senyum
darimu. Bisa dengan puas mendengar suara tawamu. Tapi kini, semua tidak
terjangkau. Semua seperti sudah memiliki pembatas, dan aku hanya bisa
memandangnya dari kejauhan.
Aku tidak menyesali perpisahan, aku hanya menyesali waktu yang sia-sia terbuang tanpa mengabadikannya dalam bingkai dan tulisan.
Satu
hal yang tidak pernah terlintas dalam kepalaku saat bersamamu;
perpisahan. Seperti layaknya sifat kekal manusia, ketika sudah
mendapatkan apa yang diinginkan, maka pengertian dari hasil akhir adalah
disana.
Seperti aku ketika sudah memilikimu. Dengan beraninya,
aku memikirkan bahwa selamanya akan bersamamu, selamanya akan ada aku
dan kamu. Bahwa yang terus dan terus aku lihat adalah kamu.
Tapi semua sudah selesai, buang-buang waktu apabila aku terus meratapi perpisahan.
Dan, akhirnya selalu ada kamu yang menjadi sepotong rindu pada waktu-waktu tertentu sendiriku.
Aku
sudah lelah berlari, tidak hanya satu arah tetapi ke berbagai arah yang
berbeda, tetapi hasilnya sama saja; Kembali ketempat yang sama. Karena
sejatinya, rindu bukan untuk ditinggalkan, tetapi dibiarkan. Biarkan
rindu berkelana selama yang ia mau, karena nanti jika rindu sudah pada
tahap lelah dan ingin pergi maka dengan sendirinya dia akan pergi.
Aku
membiarkan sepotong rindu tentangmu didalam jiwaku. Sampai pada saatnya
nanti dia ingin hilang, sampai pada saatnya nanti dia menemukan
sepotong rindu yang lain.
Dariku, yang masih saja merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar